Setiap orang memiliki seseorang yang spesial di hatinya. Yang pertama mengukir kenangan manis di masa remaja, transisi, ataupun dewasa. Yang membedakan adalah, kita bisa berakhir bahagia dengan seseorang itu, atau kita malah terpaksa berpisah demi kebaikan masing – masing. Dan aku adalah salah satu yang harus mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang itu.
Ketika aku tahu, bahwa orang – orang yang kukenal memiliki luka yang sama sepertiku, aku terhenyak, dan merenung akan betapa tidak adilnya dunia ini. Perbedaan agama, keyakinan dan prinsip, pengkhianatan, status sosial, jarak dan waktu, juga kematian memiliki andil yang cukup besar untuk memisahkan dua insan muda yang sedang digeluti asmara. Betapa sedikitnya orang yang berakhir bahagia bersama cinta pertamanya.
Dengan perpisahan, rasa menjadi mati, hambar dan tak lagi menggairahkan. Perasaan tak lagi mendominasi, karena rasa sakit menjadikan logika berjaya kedudukannya. Logikapun mendeklarasikan tujuan utamanya, yaitu tak mengulang kesalahan yang sama, juga mengutamakan masa depan yang mapan dan normal bersama keluarga kecil yang harmonis. Namun, perasaan yang terluka malah bolak – balik menggali masalalu yang telah dikubur, untuk bernostalgia dalam kesendirian. Lawan jenis lain yang datang untuk mengobati luka di hati, diabaikan karena tak sesuai dengan standar cinta pertama yang pernah berpengalaman di hati. Pernikahan diadakan karena logika menuntut pertemanan seumur hidup, untuk saling memberi manfaat terhadap pasangan sah, bukan lagi tentang memberi cinta yang semestinya.
Aku paham sekarang, mengapa ada orang yang begitu nekat untuk selingkuh dengan yang terdahulu mengisi hatinya. Sebab kenangan dan perasaan itu begitu kuat melekat dalam sanubari. Tak pernah tergantikan, tak pernah terhapus dari alam bawah sadar. Namun, bukan berarti aku setuju dengan selingkuh, walaupun mungkin aku sedang berselingkuh dengan nostalgia dan imajinasiku sendiri. Semuanya punya porsi masing – masing. Punya keluarga, tanggungjawab, masa depan dan komitmen yang harus dijaga.
Dengan rasa yang mati tadi pula, manusia bekerja hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, seperti robot pencari uang yang bisa lapar dan berekskresi. Bekerja menjadi pelarian, pelampiasan, dan distraksi atas rumitnya hati yang semrawut. Terlahir karya seni, penemuan hebat, kesepakatan penting perusahaan melalui hati – hati yang patah ini. Perut selalu panas oleh metabolisme, tetapi kalbu beku dan mematikan, jika tak disembuhkan.
Pertanyaan yang mungkin sulit untuk dijawab oleh semua orang adalah, bagaimana cara menyembuhkan luka patah hati itu? Menurutku, yang telah kulalui sejauh ini, waktu dan pengganti yang tepat akan menyembuhkan luka itu. Namun, bekasnya tetap ada, melintang di tengah keharmonisan keluarga baru. Dan menjadi bagian dari diri sendiri, selamanya, menjadi kisah lalu yang bisa dikenang pada masa tua nanti, atau bahkan menjadi cerita roman picisan versi diri sendiri untuk anak cucu kelak.
Satu lagi, jika kamu tak merasakan apa yang dijelaskan di tulisan ini, kemungkinannya, pertama, kamu menikahi cinta pertamamu. Kedua, kamu belum pernah mengalami jatuh cinta. Ketiga, kamu berhasil bangkit dan melupakan cinta pertamamu sepenuhnya, entah bagaimana caranya (dan aku akui kamu hebat!).
Sekotak televisi tabung hadir di depan mataku dalam nuansa kelabu, dengan dinding hijau pada ruangan. Yang disiarkan hanyalah semut hitam putih yang berjejer dan mendesis pada setiap milidetiknya.
Tiba – tiba, aku dihadapkan pada temanku yang mengeluhkan sebuah acara konser yang tak kunjung dipersiapkan, padahal sudah mendekati deadline. Dengan wajah cemberut dan alis dikerutkan, ia mengajakku untuk segera datang ke lokasi. Aku mengiyakan ajakannya, toh, untuk apa pula aku menonton televisi tak berguna di sini.
Sesampai di sana, orang – orang bertingkah aneh, lalu lalang tanpa tujuan, tetapi tak ada hasil yang berarti untuk persiapan konser itu. Lalu, temanku yang lainnya juga ada di sana, dan malah mengajakku ke suatu tempat di seberang lapangan, melewati semak belukar taman kota yang mungkin tak terurus lagi, hingga tibalah kami di suatu tempat duduk memanjang yang terbuat dari keramik dan menyatu dengan dinding.
Setelah duduk, kulihat ke arah jalan raya tadi, dan ternyata tempat duduk ini bisa dicapai langsung dari akses di depan mata kami. Aku bertanya – tanya, alasan apa yang membuat temanku ini tak masuk lewat situ? Diam sebentar, kami kembali lagi ke lapangan konser.
Dan terjadi lagi, aku diajak kembali ke tempat duduk keramik tadi melalui akses yang sulit. Aku heran berkali – kali, tetapi aku bungkam karena aura dunia ini terlalu mistis bagiku. Aku takut salah kata, dan menjadikanku hanya diam di sepanjang kisah ini.
Cerita berlanjut dengan latar jalanan yang sunyi, malam dan lengang, di persimpangan lampu lalu lintas. Aku bersama kedua adikku, membawa sebuah kantong besar yang berisi tubuh adikku yang terakhir (???). Ia sedang tidur di sana, dan adikku yang ketiga dan terakhir mengangkut tubuh adikku ini untuk dibawa pulang. Well, siapa yang benar? Yang diangkut, atau yang mengangkut? Aku bergidik ketakutan.
Aku masih tak percaya dengan adegan ini. Aku berpikir bahwa jika aku meninggalkan salah satunya, mungkin saja yang kutinggalkan adalah jasad sebenarnya. Jadi, kuputuskan untuk membawa keduanya, dan menghubungi pasanganku via ponsel untuk menjemput kami. Namun, ia mengatakan bahwa ia tak bisa menjemput kami sejauh itu, kecuali kami telah sampai di persimpangan depan rumah kami.
‘Ah, brengsek dia! Bisa – bisanya di saat genting begini dia tak peduli denganku’, bisikku dalam benak.
Akhirnya, dengan berat hati, kami melanjutkan perjalanan pulang, hanya saja kantong tadi terseret beberapa kilometer menuju rumah.