
Seniman jalanan itu lusuh tak berbedak.
Menari – nari di kesendirian tengah malam.
Menertawakan semut – semut yang gagal membawa remah roti ke sarangnya.
Mengguratkan beribu sajak pada setiap permukaan yang rata dengan jarinya yang hitam legam.
Menghangatkan perut pada dinginnya dini hari, dengan beberapa sisa botol teh dan beberapa kotak makanan yang hampir basi.
Tak mandi, tak berbenah.
Ia perlihatkan gigi kuningnya pada semua orang yang memandangnya jijik.
Menjelang pagi, ia tata tempat tidurnya sebaik mungkin.
Mulai terlelap di antara lalu lalang manusia.
Hingga mimpinya buyar karena air bah yang turun dari langit.
—
Bogor, 24 Desember 2022