???

Sekotak televisi tabung hadir di depan mataku dalam nuansa kelabu, dengan dinding hijau pada ruangan. Yang disiarkan hanyalah semut hitam putih yang berjejer dan mendesis pada setiap milidetiknya.

Tiba – tiba, aku dihadapkan pada temanku yang mengeluhkan sebuah acara konser yang tak kunjung dipersiapkan, padahal sudah mendekati deadline. Dengan wajah cemberut dan alis dikerutkan, ia mengajakku untuk segera datang ke lokasi. Aku mengiyakan ajakannya, toh, untuk apa pula aku menonton televisi tak berguna di sini.

Sesampai di sana, orang – orang bertingkah aneh, lalu lalang tanpa tujuan, tetapi tak ada hasil yang berarti untuk persiapan konser itu. Lalu, temanku yang lainnya juga ada di sana, dan malah mengajakku ke suatu tempat di seberang lapangan, melewati semak belukar taman kota yang mungkin tak terurus lagi, hingga tibalah kami di suatu tempat duduk memanjang yang terbuat dari keramik dan menyatu dengan dinding.

Setelah duduk, kulihat ke arah jalan raya tadi, dan ternyata tempat duduk ini bisa dicapai langsung dari akses di depan mata kami. Aku bertanya – tanya, alasan apa yang membuat temanku ini tak masuk lewat situ? Diam sebentar, kami kembali lagi ke lapangan konser.

Dan terjadi lagi, aku diajak kembali ke tempat duduk keramik tadi melalui akses yang sulit. Aku heran berkali – kali, tetapi aku bungkam karena aura dunia ini terlalu mistis bagiku. Aku takut salah kata, dan menjadikanku hanya diam di sepanjang kisah ini.

Cerita berlanjut dengan latar jalanan yang sunyi, malam dan lengang, di persimpangan lampu lalu lintas. Aku bersama kedua adikku, membawa sebuah kantong besar yang berisi tubuh adikku yang terakhir (???). Ia sedang tidur di sana, dan adikku yang ketiga dan terakhir mengangkut tubuh adikku ini untuk dibawa pulang. Well, siapa yang benar? Yang diangkut, atau yang mengangkut? Aku bergidik ketakutan.

Aku masih tak percaya dengan adegan ini. Aku berpikir bahwa jika aku meninggalkan salah satunya, mungkin saja yang kutinggalkan adalah jasad sebenarnya. Jadi, kuputuskan untuk membawa keduanya, dan menghubungi pasanganku via ponsel untuk menjemput kami. Namun, ia mengatakan bahwa ia tak bisa menjemput kami sejauh itu, kecuali kami telah sampai di persimpangan depan rumah kami.

‘Ah, brengsek dia! Bisa – bisanya di saat genting begini dia tak peduli denganku’, bisikku dalam benak.

Akhirnya, dengan berat hati, kami melanjutkan perjalanan pulang, hanya saja kantong tadi terseret beberapa kilometer menuju rumah.

Bogor, 19 Desember 2022

Advertisement

Imajinasi

Dunia berhenti bergerak.

Namun, seorang lelaki tetap berjalan menuju bangku di sudut pantai.

Ia muak melihat fenomena itu.

Selalu saja ia sendiri saat semua hal mematung.

Selalu saja ia mengobrol dengan seorang makhluk tak berjiwa ketika dunia kumat.

Bahkan, air lautpun sudah lama tak ribut.

Rindu, ia kembali menghampiri perempuan yang menjadi pemeran utama di dunia itu.

Dipeluknya, diciumnya, dijahilinya.

Berharap jiwa perempuan itu segera kembali ke tubuh yang ada di depannya, di dunia yang tak ada itu.

Terlalu lama menetap di realita, tidakkah perempuan itu merindukannya sebagai rumah?

Bogor, 15 September 2022

Pagelaran

Aku berada di suatu pagelaran musik tradisional.

Di tengah panggung yang megah terdapat angklung berukuran raksasa.

Dengan kendali pikiranku, angklung raksasa itu mulai memainkan melodi yang kuinginkan.

Ternyata, akulah Sang Maestro di pagelaran itu.

Dan kamu tahu, berapa orang penonton yang hadir kala itu?

Tiga orang.

Hanya sejumlah itu.

—–

Bogor, 24 Juni 2022